Jurnalistik untuk Kemanusiaan
Oleh : Merita Ratih Indriyana
Beberapa hari yang lalu,
tepatnya hari jum'at (6/3). Sebuah pemandangan kota membuat saya sadar bahwa
kehidupan itu memang keras. Terutama di kota besar seperti Yogyakarta ini.
Namun dibalik kerasnya hidup ternyata tidak membuat orang jujur dan pekerja
keras terdorong untuk melakukan kejahatan, sebaliknya mereka semakin giat
bekerja untuk sesuap nasi dan membuktikan ketakwaaannya pada Tuhan. Inilah yang
membuat saya yakin bahwa kejujuran itu masih ada. Selain itu, pengalaman yang
satu ini membuat saya bersyukur betapa beruntungnya saya dengan semua nikmat
yang telah diberikan tuhan kepada saya hingga saat ini. Disisi lain saya merasa
sama sekali belum mengerti arti kehidupan yang sesungguhnya.
Semuanya berawal saat siang
itu saya ingin ke Toko Merah yang berada di jalan Gejayan guna membeli
peralatan menulis. Untuk sampai ke Toko merah, saya yang saat itu berboncengan
dengan adik saya memutuskan untuk lewat jalur alternatif yang lebih cepat, yaitu
Selokan Mataram. Sesampainya di perempat jalan Teknika Utara, lampu lalu lintas
nenunjukkan warna merah. Sebagai warga negara Indonesia yang baik dan sadar
hukum saya mematuhi rambu lalin tersebut. Hal ini juga dikarenakan faktor keselamatan berkendara sebagimana
slogan yang sedang gencar disuarakan oleh polisi, yaitu "Pelopor
Keselamatan Berkendara".
Saat menanti lampu merah
kembali berwarna hijau, tiba-tiba perhatian saya tertuju pada seorang bocah
laki - laki berusia sekitar 7 atau 8 tahun yang tengah menjajakan koran dari
satu pengendara motor ke pengendara motor yang lain. Usianya masih begitu
belia, kulitnya terlihat hitam dan kusam karena efek paparan sinar matahari
dengan tampilan kepala plontos.
Sangat kontras dengan kaos ungu bermotif putih yang saat itu dikenakannya.
Wajahnya sangat lugu seakan tak pantas pekerjaan itu dibebankan kepadanya.
Hingga pada akhirnya anak itu
mendekati saya dan menjajakan korannya. Ia hanya berkata
"koran". Suaranya nyaris tak
terdengar. Hanya gerakan bibir lemah yang saya yakin ia tengah mengucapkan kata
koran. Saya lihat saat itu masih banyak koran yang ada di tangannya sembari
tangan yang lain melalui jari telunjuk dan jari tengahnya yang mungil
diacungakan dengan maksud memberitahu bahwa harga korannya 2 ribu. Saya dan
adik saya yang saat itu ditawari hanya bisa menggeleng kepada anak itu sebagai
jawaban atas usahanya menjajakan korannya kepada kami dikarenakan tidak ada
uang pecahan. Ia pun lantas pergi meninggalkan saya dan adik saya untuk menjajakan
kepada pengendara lain yang ada di belakang kami.
Memang ia sudah pergi, namun
rasa penyesalan dalam diri saya tidak begitu saja pergi dalam hati ini. Saya
lihat anak itu lalu merebahkan diri di trotoar dekat tiang lampu lalu lintas
dan menjadikannya tempat untuk melepas penat, dengan harapan agar tiang itu
mampu sedikit memberi keteduhan dan menghalangi sinar matahari yang begitu
terik siang itu. Dalam pikiran saya saat itu muncul berbagai pertanyaan mengapa
anak sekecil itu harus mencari nafkah?. Apakah faktor ekonomi sebagai
alasannya? Atau adakah alasan lain? Lalu kemanakah orang tuanya?
Sungguh miris mengingat harga
yang harus dibayar ketika masa kecilnya ditukar dengan pekerjaan dan dipaksa
dewasa sebelum waktunya dengan pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Menukar
masa anak-anaknya yang indah dimana seharusnya ia bisa bermain dengan waktu
kerja yang tentu begitu sulit dan keras untuk anak seusianya.
Seharian saya berpikir dan
merenungkan kejadian siang itu. Terpikir jika saya membeli koran tersebut, saya
dapat membantu anak itu paling tidak untuk
mendapat keuntungan dari hasil jualannya. Selain itu, saya juga akan
memperoleh informasi dari koran tersebut yang sarat jurnalisme. Menurut Bill
Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya “Elemen-elemen
Jurnalisme”, tujuan utama jurnalisme adalah menyediakan informasi yang
dibutuhkan warga agar mereka bisa hidup merdeka dan mengatur diri sendiri. Sedangkan
menurut saya sendiri jurnalisme telah membantu masyarakat mendapatkan
hak-haknya untuk mendapat informasi di eara keterbukaan informasi ini. Lebih
dari itu, jurnalistik dapat dikatakan telah membantu menjalankan roda kehidupan
dan pendidikan. Bagaimana tidak, mengingat banyaknya nilai-nilai kemanusiaan
yang telah diajarkan oleh jurnalistik.
Untuk sebagian orang yang
berkecimpung di dunia jurnalistik mungkin sudah tahu apa itu jurnalistik. Namun
untuk orang awam, mereka mungkin hanya tahu bahwa jurnalistik itu wartawan atau
bahkan mereka mungkin benar-benar tidak tahu. Jurnalistik sendiri berasal dari
kata Journal (ing) yang berarti
majalah atau majalah ilmiah, surat kabar (news),
buku catatan harian (diary). Sedang orang yang melakukan pekerjaan itu disebut
jurnalis (wartawan). Dalam pengertian luas berarti semua hal yang menyangkut
kewartawanan dan persuratkabaran. Sedang secara spesifik memiliki makna
penyampaian berita melalui media massa. Berdasarkan makna spesifik itu,
jurnalistik pada hakekatnya merupakan proses penyampaian pesan baik melalui
tulisan, gambar (foto) maupun suara.
Mulanya jurnalistik muncul
dari perbincangan di kafe di Inggris. Seiring berjalannya waktu, jurnalistik
dipelajari lebih mendalam dan berdiri sebagai ilmu. Ilmu jurnalistik inilah
yang pada akhirnya membuat orang berusaha menyelami dunia jurnalistik lebih
dalam. Hal ini pulalah yang mendasari berdirinya kantor-kantor berita sejak
berpuluh-puluh tahun yang lalu sampai saat ini. Kantor berita ini menyerap banyak
tenaga kerja, sehingga dapat dikatakan jurnalistik telah mampu menciptakan
lapangan kerja baik dari kalangan jurnalis sendiri maupun dari kalangan non
jurnalis. Termasuk pula disini adalah loper koran. Koran sampai ke tangan
pelanggan tak lepas dari peran loper koran. Meskipun banyak toko atau kios
koran yang juga menjual koran, namun untuk kota-kota besar dengan jumlah
kesibukan padat, tentu keberadaan loper koran dapat dikatakan lebih
berpengaruh, mengingat waktu yang lebih banyak mereka habiskan dijalan
dikarenakan kemecetan. Disinilah loper koran memainkan perannya sebagai
pendistribusi koran dijalanan.
Loper koran sendiri adalah
nama seseorang yang pekerjaannya ialah mengantar koran atau surat kabar ke
rumah pelanggan. Di Amerika Serikat seorang loper koran yang disebut paperboy. Kata "loper koran"
diambil dari bahasa Belanda krantenloper.
Loper koran menempati posisi
penting di banyak negara di dunia, termasuk Amerika Serikat, Kanada, Australia,
Britania Raya, Belanda, Selandia Baru dan Jepang. Hal ini karena pekerjaan
mengantar koran biasanya ialah pekerjaan pertama yang tersedia bagi para
remaja.
Disini saya membatasi tulisan
saya tentang peran loper koran dalam pendistribusian informasi. Melalui tulisan
ini pula saya ingin membagi sedikit pengalaman dan pandangan saya tentang arti
penting seorang loper koran yang dapat dikatakan sebagai “pahlawan jurnalistik”
yang juga ambil andil sebagai perantara pendistribusian informasi kepada
masyarakat. Loper koran berada pada situasi dan kondisi yang bisa dikatakan
tidak mudah dikarenakan pendistribusian itu dilakukan di jalanan yang penuh
bahaya yang mengancam dan cuaca tak menentu. Sehingga dapat dikatakan loper
koran bukanlah pekerjaan mudah dan bisa dipandang sebelah mata. Sudah
sepantasnya kita meneladani kegigihan dan kerja keras para loper koran yang menghantarkan
informasi ke tangan masyarakat agar informasi masyarakat senantiasa terbarukan.
Komentar
Posting Komentar