Seni Penanda
Demokrasi
Mural telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dunia. Diakui
sebagai salah satu seni, mural telah dikenal pada zaman prasejarah (sebelum
Masehi). Mural tidak bisa dipisahkan
dari dinding atau tembok. Dinding atau tembok inilah yang menjadi media dari
seni mural ini, sehingga banyak yang mengartikan mural sebagai seni lukis
dinding.
Melalui visualisasi mural para seniman mural berusaha membangun imajinasi
masyarakat. mereka membiarkan masyarakat menangkap makna dalam gambar yang
mereka buat. Melalui mural pula mereka berkomunikasi dua arah dengan
masyarakat. Sehingga masyarakat sebagai penikmat secara tidak langsung telah
melakukan interaksi dengan seniman mural ini.
Mural sendiri masuk ke Indonesia sejak diadakanya event Jack@art 2001, yaitu
lomba lukis mural yang diadakan komunitas mural di Jakarta. Sekarang ini mural
telah banyak dijumpai di jalanan, terutama di kota-kota besar. Bahkan
Yogyakarta yang dikenal dengan slogan berhati nyaman, kini dipenuhi dengan
mural di dinding-dinding bangunan yang berada di pinggir jalan.
Beberapa contoh bentuk mural seperti di timur Jalan Kleringan Stasiun
Tugu, Mall Galeria, dinding-dinding lapangan luar Kridososno, di bawah jembatan
kereta api Jalan Mangkubumi dan sekarang meluas ke kampung-kampung, seperti di
daerah Wirobrajan,Sayidan, Langenastran bahkan pada dinding-dinding pembatas
pada sebagian lingkungan sekolah dan masih banyak lagi.
Bagi sebagian orang mural tak lebih dari aksi vandalisme atau pengrusakan
terhadap fasilitas publik. Namun Bagi sebagian orang lagi mural memiliki nilai
estetik yang mampu memperindah kota. Namun terlepas dari itu semua, disadari
atau tidak mural menandai bahwa demokrasi telah menjadi jati diri bangsa.
Sekarang publik bisa bebas mengkritik pemerintah. Tak terkecuali melalui
mural. Para seniman mural beraksi menungkan gagasan mereka tentang isu-isu
publik yang erat kaitannya dengan birokrasi negara. Masalah-masalah politik dan
sosial menjadi hal yang paling disorot. Maka tak heran jika banyak seni mural
yang memvisualisasikan gambar disertai tulisan yang sarat sindiran.
Tidak ada lagi kata takut untuk mengungkapkan pendapat. Kita sudah cukup
lama meninggalkan era orde baru yang begitu mencekam. Kita telah lama
meninggalkan era bisu dimana setiap orang dibatasi ruang geraknya dalam
menyampaikan aspirasi.
Mural seakan hadir untuk memberikan inovasi media penyampai aspirasi. jika
biasanya media aspirasi masyarakat adalah media cetak atau elekronik melalui
mural masyarakat diajak menikmati aspirasi melalui media yang berbeda.
Sekarang kita sudah sepantasnya bersyukur dengan era baru (demokrasi) yang
kini disandang Indonesia. Namun yang patut diingat adalah kita sebagai
masyarakat yang baik harus tetep mengindahkan etika berpendapat di muka umum. Termasuk
dalam menuangkan aspirasi melalui mural.
Komentar
Posting Komentar